Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Friday, November 9, 2018

Tujuan Hidup Manusia

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)
Tafsir ayat:
21. Ini adalah perintah yang bersifat umum bagi seluruh manusia dengan sebuah perintah yang umum, yaitu ibadah yang komplit dengan menaati perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-laranganNya, dan mempercayai kabar-kabarNya, lalu Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka kepada tujuan dari penciptaan mereka, Allah berfirman,
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” (Adz-Dzariyat: 56)
Kemudian Dia beralasan atas kewajiban beribadah kepadaNya semata karena Dia-lah Rabb kalian yang telah menganugerahkan kepada kalian berbagai macam nikmat, lalu Dia menciptakan kamu dari tidak ada dan Dia juga menciptakan orang-orang sebelum kamu.
22. Dan Dia memberikan nikmat kepada kamu dengan nikmat-nikmat lahiriyah maupun batiniyah, Dia menjadikan untukmu dunia ini sebagai hamparan yang menjadi tempat kamu menetap, dan kamu mengambil manfaatnya dengan membangun rumah, pertanian, pembajakan dan berkelana dari suatu tempat menuju tempat lain, dan lain sebagainya dari bentuk-bentuk pemanfaatan dengannya, lalu Dia menjadikan langit sebagai atap bagi rumah tempat tinggal kalian dan menyediakan manfaat-manfaat yang merupakan kebutuhan pokok hidup kalian dan kebutuhan dasar seperti matahari, bulan dan bintang.
وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً۬
Dan Dia menurunkan air hujan dari langit
Langit adalah segala yang ada di atas kalian. Oleh karena itu, para ahli tafsir berkata, “Maksud dari langit di sini adalah awan.” Lalu Allah Subhaanahu wa Ta’ala menurunkan air hujan darinya, فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٲتِ “Lalu Dia menghasilkan dengan (hujan) itu segala buah-buahan” seperti buji-bijian dan hasil-hasil dari pohon kurma, buiah-buahan, tanaman dan lain sebagainya  رِزۡقً۬ا لَّكُمۡ‌ۖ  “Sebagai rizki untukmu” dengannya kamu mendapatkan rizki, kamu makan, kamu hidup dan kumu bahagia. فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادً۬ا “Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah” yaitu yang sama dan yang sepadan dari makhluk-makhlukNya lalu kamu menyembahnya sebagaimana kamu menyembah Allah, lalu mencintainya sebagaimana kamu mencintai Allah, padahal mereka itu sama seperti kalian. Mereka adalah makhluk yang diciptakan, diberi rizki dan diatur, dimana mereka tidak memiliki apapun sebesar biji atom (dzarrah, edt- ) di bumi dan tidak pula di langit, serta mereka tidak dapat memberikan manfaat kepadamu dan tidak juga mengakibatkan mudharat.  وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ “Padahal kamu mengetahui” bahwasanya Allah tidak memiliki sekutu, tidak pula kesamaan, tidak pula penciptaan, rizki, dan pengaturan, tidak pula pada peribadatan dan kesempurnaan, lalu bagaimanakah kamu menyembah tuhan-tuhan (yakni; sesembahan-sesembahan lain yang bathil, edt– ) lain bersamaNya padahal kalian mengetahuinya? Hal ini merupakan perkara yang paling mengherankan dan yang paling bodoh.
Ayat ini menyatukan antara perintah kepada beribadah hanya kepada Allah semata dan larangan dari beribadah kepada selain Allah, dan penjelasan akan dalil yang sangat jelas atas kewajiban beribadah kepadaNya dan batilnya beribadah kepada selainNya, yaitu penyebutan tauhid rububiyah yang mengandung keesanNya dalam penciptaan, rizki dan pengaturan, lalu apabila setiap orang menetapkan bahwasanya tidak ada sekutu bagi Allah dalam hal itu, maka itulah yang seharusnya, maka haruslah seperti itu bagiNya dalam beribadah kepadaNya, ini adalah dalil logika yang paling terang atas keesaan Sang Pencipta Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan batilnya kesyirikan.
Dan firmanNya, لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ “Agar kamu bertakwa” kemungkinan artinya adalah bahwasanya kamu sekalian beribadah hanya kepada Allah semata niscaya dengan hal itu kalian telah menjaga diri kalian sendiri dari murka dan adzabNya, karena kalian melakukan sebab yang mendorong hal tersebut, dan kemungkinan juga artinya adalah bahwasanya jika kamu menyembah Allah semata, niscaya kamu menjadi golongan orang-orang bertakwa yang memiliki sifat ketakwaan; kedua arti ini adalah benar, dan keduanya saling berkaitan karena barangsiapa yang melakukan ibadah secara sempurna, niscaya ia menjadi golongan orang-orang bertakwa, pastilah ia akan memperoleh keselamatan dari adzab dan murka Allah.
Sumber: Al-Sa'di,  Kitab Tafsir Taisir Karimir Rahman, Penerbit Pustaka Sahifa.
Share:

Amal Harus Sesuai Syariat



Hasil gambar untuk image kitab hadits arbain
Hadis Arbain ke-5
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak".
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)
[Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]

Penjelasan Hadits

1.   Hadits ini merupakan pokok yang mendasar dalam menimbang seluruh amalan yang zhahir. Dan amalan apapun tidak akan dianggap kecuali jika sesuai dengan syariat. Sebagaimana hadits “innamal a’maalu bin niyyat“, merupakan pokok yang mendasar dalam menimbang seluruh amalan batin. Dan semua amalan apapun yang dijadikan taqarrub (ibadah) kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, dan harus benar dengan niatnya.
2.   Jika wudhu, mandi janabat, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya dilakukan dengan tidak sesuai syariat, maka ibadah-ibadah tersebut tertolak dan tidak dianggap. Dan segala sesuatu yang diperoleh dengan akad yang rusak, wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak boleh dimiliki. Dan yang menunjukkan hal ini adalah kisah seorang pekerja sewaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ayahnya,
…أَمَّا الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ فَرَدٌّ عَلَيْكَ…
Adapun budak wanita dan kambing, maka itu dikembalikan kepadamu… Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2695) dan Muslim (1697).
 3.   Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan bid’ah, yang sama sekali tidak ada asal usulnya dalam syariat ini, maka itu tertolak, sekaligus pelakunya terancam dengan ancaman (dari Allah dan Rasul-Nya). Sungguh Nabi telah bersabda tentang keutamaan kota Al-Madinah,
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Barangsiapa mengada-ada sebuah amalan di dalamnya, atau memberi tempat tinggal kepada orang yang mengada-ada tersebut, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia… (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1870), dan Muslim (1366).
4.   Riwayat kedua yang terdapat dalam Shahih Muslim lebih umum dari riwayat yang terdapat pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Karena riwayat dalam Shahih Muslim ini mencakup seluruh orang yang melakukan bid’ah. Sama saja orang tersebut yang pertama kali mengadakan bid’ah ataupun ia hanya mengikuti pendahulunya dalam melakukan bid’ah.
5.   Makna sabdanya “raddun” dalam hadits ini artinya “marduudun ‘alaihi” (tertolak kepada si pelakunya). Dan ini (dalam bahasa Arab) disebut penamaan objek dengan kata dasar. Seperti “khalqun” (penciptaan) artinya “makhluuqun” (yang diciptakan). Atau “naskhun” (penghapusan hukum) artinya “mansuukhun” (hukum yang dihapuskan).
 6.  Tidak masuk ke dalam hadits segala sesuatu yang justru membantu dan membuat kemaslahatan dalam menjaga agama Islam. Atau yang mebantu dalam memahamkan dan mengetahui agama Islam. Seperti mengumpukan Al-Qur’an dalam mus-haf. Menulis ilmu-ilmu bahasa dan nahwu. Dan yang semisalnya.
7.  Hadits ini, secara umum menunjukkan bahwa semua amalan yang menyelisihi syariat pasti tertolak. Walaupun maksud pelakunya baik. Dan dalil yang menunjukkan hal ini adalah kisah seorang sahabat yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat ini,
 شَاتُكَ شَاةُ لَحْمٍ
Kambing sembelihanmu, kambing sembelihan biasa saja (yakni; hanya sembelihan biasa saja). Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (955) dan Muslim (1961).
8.   Hadits ini, secara lafazhnya menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada perintah syariat padanya maka tertolak. Dan secara pemahamannya, menunjukkan bahwa amalan yang padanya terdapat perintah syariat, maka tidak akan tertolak. Makna (ringkasnya); setiap amalan yang berada dalam koridor hukum-hukum syariat Islam dan sesuati dengannya, maka ia diterima. Dan yang keluar darinya, maka tertolak.
Share:

Monday, October 29, 2018

Persaudaraan

Persaudaraan (ukhuwwah) bukan sebatas hubungan kekerabatan karena faktor keturunan, tetapi yang dimaksud dengan persaudaraan dalam Islam adalah persaudaraan yang diikat oleh tali aqidah (sesama muslim) dan persaudaraan karena fungsi kemanusiaan (sesama manusia makhluk Allah). Persaudaraan ini sangat jelas dicontohkan Rasulullah, yaitu mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, serta menjalin hubungan persaudaraan dengan suku-suku lain yang tidak seiman dan melakukan kerja sama dengan mereka, Allah SWT berfirman:

 إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al-Hujurat:10).

Pada ayat ini Allah Swt. menegaskan dua hal. Pertama, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Kedua, jika terdapat perselisihan antarsaudara, kita diperintahkan oleh Allah untuk melakukan iślah (upaya perbaikan atau perdamaian). Apa indikasi dari suatu persaudaraan? Rasulullah bersabda, “Demi Allah yang menguasai diriku! Seseorang di antara kalian tidak dianggap beriman kecuali dia menyayangi saudaranya sesama mukmin sama seperti dia menyayangi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari) Selain itu Rasulullah Saw. juga menegaskan, “Seorang muslim adalah orang yang lidah dan tangannya tidak menyakiti muslim lain, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.” (HR. Bukhari) Diriwayatkan dari Nu’man bin Basyir, bahwa Rasulullah bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menyayangi, seperti satu tubuh. Apabila satu organ tubuh merasa sakit, akan menjalar kepada semua organ tubuh, yaitu tidak dapat tidur dan merasa demam.” (HR. Muslim)

Perilaku yang terkait sikap Persaudaraan (Ukhuwwah) 1. Menjenguk/mendoakan/membantu teman/orang lain yang sedang sakit atau terkena musibah. 2. Mendamaikan teman atau saudara yang berselisih agar mereka sadar dan kembali bersatu. 3. Bergaul dengan orang lain dengan tidak memandang suku, bahasa, budaya, dan agama yang dianutnya. 4. Menghindari segala bentuk permusuhan, tawuran, ataupun kegiatan yang dapat merugikan orang lain. 5. Menghargai perbedaan sukur, bangsa, agama, dan budaya teman/orang lain.
Semoga Allah mengokohkan persaudaraan kita di dunia dan akhirat.


Share:

Sunday, September 16, 2018

Hati-Hati Dengan Kepopuleran


"Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab tiap sesuatu yang tumbuh namun tidak ditanam, maka tidak sempurna hasil buahnya.(Hikam Ke-11).
Tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya bagi seorang yang beramal, dari pada menginginkan kedudukan dan terkenal pergaulannya di tengah-tengah masyarakat. Dan ini termasuk keinginan hawa nafsu yang utama. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang merendahkan diri, maka Allah akan memuliakannya dan barang siapa yang sombong, Allah akan menghinanya. Ibrahim bin Adham radhiallohu 'anhu berkata: "Tidak benar tujuan kepada Allah, siapa yang ingin terkenal."Ayyub as-Asakhtiyani radhiallohu 'anhu berkata: "Demi Allah tidak ada seorang hamba yang sungguh-sungguh ikhlas pada Allah, melainkan ia merasa senang, gembira jika ia tidak mengetahui kedudukan dirinya."Mu'adz bin Jabal berkata: Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya sedikit riya' itu sudah termasuk syirik. Dan barangsiapa yang memusuhi wali Allah, maka telah memusuhi Allah. Dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa yang tersembunyi [tidak terkenal], yang bila tidak ada, tidak dicari dan bila hadir tidak dipanggil dan tidak dikenal. Hati mereka bagai pelita hidayat, mereka terhindar dari segala kegelapan dan kesukaran."Abu Hurairoh rodhiallahu 'anhu berkata: Ketika kami di majlis Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam, tiba-tiba Rasululloh  bersabda: Besok pagi akan ada seorang ahli surga yang sholat bersama kamu. Abu Hurairoh berkata: Aku berharap semoga akulah orang yang ditunjuk oleh Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam itu. Maka pagi-pagi aku shalat di belakang Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam dan tetap tinggal di majlis setelah orang-orang pada pulang. Tiba-tiba ada seorang budak hitam berkain compang-camping datang berjabat tangan pada Rasululloh shallallohu 'alaihi wasallam sambil berkata: Wahai Nabi Allah! Do’akan semoga aku mati syahid. Maka Rasululloh shollallohu 'alaihi wasallam berdoa, sedang kami mencium bau kasturi dari badannya. Kemudian aku bertanya: Apakah orang itu wahai Rasulullah? Jawab Nabi: Ya benar. Ia seorang budak dari bani fulan. Abu Hurairoh berkata: Mengapa engkau tidak membeli dan memerdekakannya wahai Nabi Allah? Jawab Nabi: Bagaimana aku akan dapat berbuat demikian, sedangkan Allah akan menjadikannya seorang raja di surga. Wahai Abu Hurairoh! Sesungguhnya di surga itu ada raja dan orang-orang terkemuka, dan ini salah seorang raja dan terkemuka. Wahai Abu Hurairoh! Sesungguhnya Allah mengasihi, mencintai makhluknya yang suci hati, yang samar, yang bersih, yang terurai rambut, yang kempes perut kecuali dari hasil yang halal, yang bila akan masuk kepada raja tidak diizinkan, bila meminang wanita bangsawan tidak akan diterima, bila tidak ada tidak dicari, bila hadir tidak dihiraukan, bila sakit tidak dijenguk, bahkan ia meninggal tidak dihadiri jenazahnya. Para sahabat bertanya: Tunjukkan kepada kami wahai Rasulullah salah seorang dari mereka? Jawab Nabi: Uwais al-Qoranyseorang berkulit coklat, lebar kedua bahunya, tingginya agak sedang dan selalu menundukkan kepalanya sambil membaca al-Qur'an, tidak terkenal di bumi tetapi terkenal di langit, andaikan ia bersungguh-sungguh memohon sesuatu kepada Allah pasti diberinya. Di bawah bahu kirinya berbekas. Wahai Umar dan Ali! Jika kamu bertemu padanya, maka mintalah kepadanya supaya memohonkan ampun untukmu.


Share:

Surat Al-Baqarah : 17-


“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya. Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, mereka tidak dapat melihat. (17) Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar) (18) Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. (19)Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. (20). 

Penjelasan :
(17). Perumpamaan keimanan yang ditampakkan oleh orang-orang Munafiq dengan kekufuran yang mereka sembunyikan adalah seperti orang yang menyalakan api untuk dijadikan sebagai unggun/perapian yang menerangi mereka, namun tatkala api itu menerangi sekeliling mereka dan mereka merasakan manfaat yang paling rendah darinya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka tersebut, dan membiarkan mereka dalam kegelapan dan keadaan tidak melihat; karena dengan keimanan yang mereka tampakkan, mereka telah menjaga darah, harta, isteri-isteri serta keturunan mereka dari pembunuhan dan penyanderaan sedangkan dengan kekufuran yang mereka sembunyikan bila mereka mati, maka mereka akan masuk neraka dan merugi dalam segala hal hingga diri mereka sendiri. (matsaluhum ka matsalil lazis tauqada naara: Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api …);
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan beberapa shahabat mengenai ayat ini, mereka berkata: “sesungguhnya ada beberapa orang yang masuk Islam ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, namun kemudian mereka menjadi orang-orang yang munafiq; mereka diumpamakan seperti seorang laki-laki yang berada dalam kegelapan, kemudian dia menyalakan api sehingga menerangi gangguan-gangguan yang ada di sekelilingnya yang dapat menyakitinya, lantas dia dapat melihatnya (gangguan-gangguan tersebut) dan tahu bagaimana dia dapat menjaga diri darinya.
Tatkala dia dalam kondisi demikian, api pun padam sehingga dia tidak tahu bagaimana dia dapat menjaga dirinya dari gangguan-gangguan yang dapat menyakitinya tersebut. Demikian pula halnya dengan orang Munafiq; dia berada dalam kegelapan syirik, kemudian masuk Islam dan mengetahui mana yang halal dan haram, yang baik dan buruk namun kemudian dalam kondisinya yang demikian dia kembali kepada kekufuran sehingga dia tidak tahu lagi mana yang halal dan haram serta mana yang baik dan buruk”.
(18). Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar); maksudnya, tinggallah pemilik-pemilik api yang menyinarinya setelah padam tersebut menjadi orang yang tuli dan tidak dapat mendengar seruan orang, bisu dan tidak dapat menanyakan jalan (yang benar), buta dan tidak dapat melihatnya serta tidak bisa kembali kepada jalan mereka semula; demikian pula halnya dengan orang-orang Munafiq yang telah masuk Islam kemudian kembali kepada kekufuran.
(19). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit); yang dimaksud dengan ash-Shayyib adalah al-Mathar (hujan yang lebat); Allah menjadikannya sebagai perumpamaan bagi al-Qur’an karena ia turun dengan hal yang menakutkan orang-orang Munafiq.


(disertai gelap gulita, guruh dan kilat) ; hal itu semua merupakan peringatan-peringatan al-Qur’an.
(mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati); artinya, mereka menjaga diri mereka dari bahaya dengan sesuatu yang tidak dapat menjaga diri mereka, demikian pula dengan orang-orang Munafiq; mereka hanya bisa menutup telinga mereka agar tidak mendengar ayat-ayat al-Qur’an.
(Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir); makna “al-ihaathah” adalah mengambil sesuatu dari segala sisi sehingga tidak ada lagi yang terlewati.

(20). (Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka); hampir-hampir ayat-ayat al-Qur’an yang muhkam (yang jelas dan tidak samar lagi-red) menunjukkan aib-aib orang-orang Munafiq.
(Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu); artinya, jika mereka memiliki banyak harta, anak-anak serta mereka mendapatkan ghanimah (harta rampasan) dan melakukan penaklukan, maka mereka berpartisipasi dan terus jalan sembari berkata: ‘kalau begitu, sesungguhnya agama Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah benar’, lalu mereka akan konsekuen dengannya.
(dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti); jika harta-harta mereka musnah dan mereka ditimpa bencana; mereka berkata:’ini semua demi agama Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu mereka kemudian murtad dan kembali kepada kekufuran.
(Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu); dan jika Allah menghendaki niscaya Dia Ta’ala akan melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka sebab Dia Ta’ala Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Demikianlah kondisi orang-orang Munafiq padahal al-Qur’an turun dan menyinggung tentang kekufuran, yakni berupa azh-Zhulumaat (kegelapan), menyinggung tentang al-Wa’iid (ancaman), yakni berupa petir dan guntur, menyinggung tentang hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasan, yakni berupa kilat dengan kekuatan cahayanya. Mereka takut al-Qur’an turun dan menyingkap kedok dimana mereka berlindung dibaliknya sehingga membuat mereka dihukum; bila ada ayat turun dan tidak menyinggung serta membicarakan mereka, mereka terus berjalan dalam keimanan mereka yang hanya secara zhahir, dan bila ada ayat-ayat turun dan mengecam kebathilan dan apa yang mereka lakukan mereka berdiri ling-lung dan bingung; tidak dapat melangkah maju atau mundur; bila Allah menghendaki untuk mengambil/melenyapkan pendengaran-pendengaran dan penglihatan-penglihatan mereka niscaya Dia dapat melakukannya karena Dia merupakan Ahlinya dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.  

Saripati  ayat ini:  memaparkan perumpamaan guna mendekatkan makna kedalam pikiran adalah sesuatu yang baik. Ahli kebathilan akan selalu gagal dalam upaya mereka dan akan menanggung akibat perbuatan mereka tersebut. Dengan al-Qur’an,  hati akan hidup sebagaimana bumi hidup dengan adanya air. Orang-orang Munafik adalah seburuk-buruk golongan orang-orang kafir.

Share:

Friday, September 14, 2018

Persahabatan Sejati


Suatu hari, Nabiyullah Isa AS melakukan perjalanan denganseorang temannya. Mereka hanya berbekal tiga potong roti. Ketika sampai di suatu tempat, mereka berdua beristirahat. “Bawa roti itu kemari,” kata Nabi Isa AS kepada temannya. 
Lelaki itu memberikan dua potong roti. “Mana yang sepotong lagi?” tanya nabi Isa. “Aku tidak tahu.

Setelah masing-masing makan sepotong roti, keduanya kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tepi laut. Nabiyullah Isa AS menggelar sajadahnya di atas laut, mereka berdua lalu berlayar ke seberang. “Demi Allah yang telah memperlihatkan mukjizat ini kepadamu, siapakah yang telah makan sepotong roti itu?” tanya Nabi Isa kepada temannya. “Aku tidak tahu.”

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan mereka melihat seekor kijang. Setelah dipanggil, kijang itu pun datang menghampiri beliau. Beliau lalu menyembelih, memanggang dan memakannya. Sehabis makan, Nabi Isa AS berkata kepada tulang-tulang kijang, “Berkumpullah kamu.” Tulang-tulang itu pun berkumpul. Beliau lalu berkata, “Dengan izin Allah, jadilah kalian seperti semula.” Tulang-tulang itu segera bangkit dan berubah menjadi kijang. “Demi Allah yang telah memperlihatkan mukjizat ini kepadamu, siapakah yang telah makan sepotong roti itu?” tanya Nabi Isa AS. “Aku tidak tahu,” jawab temannya.

Nabiyullah Isa AS bersama temannya kembali melanjutkan perjalanan hingga sampai pada sebuah tempat. Mereka duduk beristirahat. Nabiyullah Isa AS memungut tiga bongkahan batu. “Dengan izin Allah, jadilah emas,” kata Nabi Isa AS. Batu itu pun segera berubah menjadi emas. “Ini untukku, yang ini untukmu dan yang satu lagi untuk orang yang telah makan sepotong roti itu,” kata Nabiyullah Isa. “Akulah yang telah makan roti itu,” kata temannya. “Ambillah semua emas ini, aku tak mau berteman dengan pendusta,” kata beliau sambil meninggalkan temannya.



Lelaki tadi lalu duduk di dekat emasnya. Ia tidak mampu membawa ketiga-tiganya, tetapi juga tidak rela meninggalkan sebagian darinya. Ketika ia sedang memikirkan cara membawa ketiga bongkahan emas itu, datanglah dua orang lelaki. Melihat keindahan emas itu, timbul keinginan di hati kedua orang itu untuk memilikinya. “Kalian tidak pantas mengambil milikku dan kalian sama sekali tidak akan mendapatkan bagian,” kata pemilik emas.

Melihat mereka berdua hendak membunuhnya, ia segera berkata, “Emas ini kita bagi saja, satu untukku dan sisanya untuk kalian berdua.” Mereka pun rela dengan pembagian itu. “Ambillah secuil dari bongkahan emas ini, pergilah beli makanan,” kata pendatang kepada pemilik emas.
Setelah mengambil secuil emas, ia lalu pergi membeli makanan untuk mereka bertiga. “Untuk apa aku membagi emas itu dengan mereka berdua, emas itu kan milikku,” pikir si pemilik emas. Timbullah niat untuk meracuni makanan. “Jika mereka berdua mati, emas itu akan jatuh ke tanganku lagi,” pikir si pemilik emas.
Ia lalu membeli racun yang paling ganas, siapa pun yang memakannya pasti akan mati seketika. Racun itu lalu ia taburkan di atas makanan mereka. 
Kedua pendatang tadi juga mempunyai rencana, “Mengapa kita harus memberi dia. Jika telah kembali, kita bunuh saja dia. Emas itu semua akan menjadi menjadi milik kita berdua.” Mereka berdua kemudian membunuh si pemilik emas. Dan dengan perasaan senang karena mendapat emas lebih banyak, kedua lelaki itu kemudian menyantap dengan lahap makanan yang baru saja dibeli.
Beberapa tahun kemudian Nabi Isa AS bersama kaumnya melewati tempat itu. Mereka melihat tiga bongkahan emas dan tiga kerangka manusia. “Lihatlah bagaimana dunia memperlakukan mereka,” kata Nabi Isa AS kepada kaumnya. Beliau kemudian berdiri di depan emas dan berkata, “Jadilah seperti asalmu.” Emas itu pun kembali menjadi batu. (I:560) 

(Habib Muhammad bin Hadi bin Hasan bin Abdurrahman Asseqaf, Tuhfatul Asyraf)


Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan