Melatih dan Mencerahkan Jiwa

Dr. KH. Abduh Al-Manar, M.Ag.

Pengasuh Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah. Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Pondok Pesantren Al-Irsyadiyah

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

PAUD Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MI Al-Irsyadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

MTS Al-Iryadiyah Tahun Pelajaran 2019/2020

Jl. Inpres II Cibeuteung Udik, Ciseeng - Bogor

Showing posts with label Kajian Hadis. Show all posts
Showing posts with label Kajian Hadis. Show all posts

Tuesday, March 9, 2021

Mesin Pencari Hadis



 * MESIN PENCARI HADITS DAN TERJEMAH TERLENGKAP *

CariHadis.com

Alhamdulillah kini telah hadir untuk Anda terjemah kitab hadis lengkap, dilengkapi fitur untuk mencari teks atau nomor hadis.


Berikut ini judul kitab yang sudah ditambahkan ke dalam Bahasa Indonesia:


1. Shahih Bukhari http://carihadis.com/Shahih_Bukhari/1


2. Shahih Muslim http://carihadis.com/Shahih_Muslim/1


3. Sunan Abu Daud http://carihadis.com/Sunan_Abu_Daud/1


4. Sunan Tirmidzi http://carihadis.com/Sunan_Tirmidzi/1


5. Sunan Nasai http://carihadis.com/Sunan_Nasai/1


6. Sunan Ibnu Majah http://carihadis.com/Sunan_Ibnu_Majah/1


7. Muwatho Malik http://carihadis.com/Muwatho_Malik/1


8. Musnad Ahmad http://carihadis.com/Musnad_Ahmad/1


9. Musnad Darimi http://carihadis.com/Musnad_Darimi/1


10. Musnad Syafii http://carihadis.com/musnad_syafii_terjemah/1


11. Mustadrak Hakim http://carihadis.com/mustadrak_hakim_terjemah/1


12. Shahih Ibnu Hibban http://carihadis.com/shahih_ibnu_hibban_terjemah/1


13. Shahih Ibnu Khuzaimah http://carihadis.com/shahih_ibnu_khuzaimah_terjemah/1


14. Sunan Daraquthni http://carihadis.com/Sunan_Daraquthni_Terjemah/1


15. Riyadhus Shalihin http://carihadis.com/terjemah_riyadhus_shalihin/1


16. Bulughul Maram http://carihadis.com/Terjemah_Bulughul_Maram/1

Share:

Thursday, November 19, 2020

Larangan Berbuat Zalim



Hadis Arbain ke 24 dapat disimpulkan :

1.      Menegakkan keadilan di antara manusia serta haramnya kezaliman di antara mereka merupakan tujuan dari ajaran Islam yang paling penting.

2.      Wajib bagi setiap orang untuk memudahkan jalan petunjuk dan memintanya kepada Allah ta'ala.

3.      Semua makhluk sangat tergantung kepada Allah dalam mendatangkan dan menolak keburukan terhadap dirinya baik dalam perkara dunia maupun akhirat.

4.      Pentingnya istighfar dari perbuatan dosa dan sesungguhnya Allah ta'ala akan mengampuninya.

5.      Lemahnya makhluk dan ketidakmampuan mereka dalam mendatangkan kecelakaan dan kemanfaatan.

6.      Wajib bagi setiap mu'min untuk bersyukur kepada Allah ta'ala atas ni'mat-Nya dan taufiq-Nya.

7.      Sesungguhnya Allah ta'ala menghitung semua perbuatan seorang hamba dan kesalahannya.

8.      Dalam hadits terdapat petunjuk untuk memenuhi diri (muhasabah) serta penyesalan atas dosa-dosa.


Share:

Monday, October 26, 2020

Suci Bagian Dari Iman

 


Suci bagian dari Iman. Dijelaskan dalam Kitab Hadis Arbain ke 23

عن أبي مالك الحارثي ابن عاصم الأشعري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الطهور شطر الإيمان, والحمد لله تملأ الميزان, وسبحان الله والحمد لله تملأ - أو تملآن - ما بين السماء والأرض, والصلاة نور, والصدقة برهان, والقرآن حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ. كُلُّ النَّاسِ يَغْدُو فَباَئِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا [رواه مسلم

Dari Abu Malik, Al Harits bin Al Asy'ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah' alaihi wa Sallam: 'Suci itu sebagian dari iman, (bacaan) alhamdulillaah memenuhi timbangan, (bacaan) subhaanallaah dan alhamdulillaah. memenuhi  ruang yang ada di antara langit dan bumi. Shalat itu adalah nur, shadaqah adalah pembela, shalat adalah cahaya dan Al-Qur'an menjadi pembela kamu atau musuh kamu. Setiap manusia bekerja, lalu dia menjual dirinya, kemudian pekerjaan itu dapat menyelamatkannya atau mencelakakannya ”. [HR Muslim. 223] 

 

Hadis ini memuat salah satu pokok Islam dan memuat salah satu dari kaidah penting Islam dan agama. Adapun yang dimaksud dengan kata “suci” adalah perbuatan bersuci.

Ada pendapat tentang maksud kalimat “suci sebagian dari iman” yaitu: pahala suci merupakan sebagian dari pahala iman, sedangkan yang lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan iman di sini adalah shalat, yaitu firman Allah:

“Allah tidak menyia-nyiakan iman (shalat) kamu”. (QS. 2: 143)

Thaharah atau bersuci merupakan salah satu dari syarat sahnya shalat. Jadi, bersuci merupakan sebagian pekerjaan shalat. 

Sabda Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam “(bacaan) alhamdulillaah memenuhi timbangan”, maksudnya besar pahalanya memenuhi timbangan orang yang mengaturnya. Dalam Al Qur'an dan Sunnah diterangkan tentang timbangan amal, berat dan ringannya. Begitu juga sabda Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam “(bacaan) subhaanallaah dan alhamdulillaah memenuhi ruang yang ada di antara langit dan bumi”. Hal ini karena sangat besar ucapan tersebut yang berisi menyucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan cacat.

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Shalat itu adalah nur“ maksudnya adalah perbuatan itu mencegah maksiat, merintangi perbuatan-perbuatan keji dan mungkar, serta menunjukkan ke jalan yang benar, cahaya yang dijadikan orang sebagai penunjuk jalan. Sebagaian lain yang berpendapat bahwa jalan, shalat itu kelak akan menjadi petunjuk jalan bagi pelakunya di hari kiamat. Sedangkan sebagian yang lain lagi berpendapat bahwa shalat seseorang kelak akan menjadi cahaya yang memancar di wajahnya di hari kiamat, dan ketika di dunia menjadikan wajah pelakunya cemerlang, yang mana hal ini tidak diperoleh orang-orang yang tidak shalat.

 

Tentang sabda Nabi Shallall 'alaihi wa Sallam “shadaqah adalah pembela”, pengarang kitab At Tajrid mengatakan, maksudnya adalah dia akan membutuhkan pembelaan dari shadaqah (zakat) nya, ia membutuhkan pembelaan dengan berbagai bukti-bukti yang dapat menyelamatkannya dari. Seolah-olah seseorang jika kelak di hari kiamat dimintai tanggung jawab dalam membelanjakan hartanya, maka shadaqah (zakat) nya dapat menjadi pembela bagi dirinya dalam memberikan jawaban, misalnya ia berkata: “Aku menggunakan hartaku untuk membayar zakat”.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah shadaqah (zakat) bukti keimanan pelakunya. Hal ini karena orang munafik tidak mau mengeluarkan zakat karena tidak meyakininya. Barang siapa yang mengeluarkan zakat, hal itu menunjukkan kekuatan imannya.

 

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Al Qur'an menjadi pembela kamu atau musuh kamu” maksudnya jelas, yaitu bermanfaat jika kamu baca dan kamu amalkan, tetapi jika tidak, akan menjadi musuh kamu.

 

Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam “Setiap manusia bekerja, lalu dia menjual dirinya, kemudian pekerjaan itu dapat menyelamatkannya atau mencelakakannya” maksudnya setiap orang bekerja untuk dirinya sendiri. Ada orang yang menjual dirinya kepada Allah dengan berbuat ketaatan kepada-Nya sehingga dirinya selamat dari adzab, seperti Allah firmankan: “Sungguh Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka, sehingga mereka mendapatkan surga”. (QS.9: 111)

Ada orang yang menjual dirinya kepada setan dan hawa nafsunya dengan mengikuti bisikan-bisikannya sehingga dirinya menjadi celaka. Ya Allah, berilah kami taufiq untuk melakukan amal ketaatan kepada-Mu. Jauhkan kami dari segala tipudaya setan yang merusak amal ibadah kami.

Share:

Monday, October 12, 2020

Menjalankan Syariat Islam Yang Sebenarnya

 


Hadis Arbain Ke 22

عن أبي عبد الله جابر بن عبد الله الأنصاري رضي الله عنهما: أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أرأيت إذا صليت المكتوبات, وصمت رمضان, وأحللت الحلال, وحرمت الحرام, ولم أزد على ذلك شيئا, أأدخل الجنة? قَالَ: نَعَمْ. رواه مسلم

 

Dari Abu 'Abdullah, Jabir bin' Abdullah Al Anshari radhiyallahu anhuma, sungguh ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa Sallam: “Bagaimana pendapatmu jika aku melakukan shalat fardhu, puasa pada bulan Ramadhan, menghalalkan yang halal (melaksanakannya dengan penuh Keyakinan), mengharamkan yang haram (menjauhinya) dan aku tidak menambahkan itu sedikit pun, apakah aku akan masuk surga? "Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjawab:" Ya "  [Muslim no. 15]

 

Sahabat yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam ini bernama Nu'man bin Qauqal Abu' Amr bin Shalah menyatakan bahwa secara zhahir yang dimaksud dengan perkataan “aku mengharamkan yang haram” termasuk dua hal, yaitu meyakini bahwa sesuatu itu benar-benar haram dan tidak melanggarnya. Hal ini berbeda dengan perkataan “menghalalkan yang halal”, yang mana cukup meyakini bahwa sesuatu benar-benar halal saja.

 

Pengarang kitab Al Mufhim mengatakan secara umum bahwa Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam tidak mengatakan kepada penanya di dalam Hadits ini sesuatu yang bersifat tathawwu' (sunnah). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum boleh meninggalkan yang sunnah. Akan tetapi, orang yang meninggalkan yang sunnah dan tidak mau melakukan sedikit pun, maka ia tidak memperoleh keuntungan yang besar dan pahala yang banyak. Akan tetapi, barang siapa terus-terus menerus meninggalkan hal-hal yang sunnah, berarti telah berkurang bobot badan dan berkurangnya nilai kesungguhannya dalam beragama. Barang siapa meninggalkan yang sunnah karena sikap yang meremehkan atau membencinya, maka hal itu merupakan perbuatan yang patut dicela.

 

Para ulama kita berpendapat : “Bila penduduk suatu negeri bersepakat meninggalkan hal yang sunnah, maka mereka itu boleh diperangi sampai mereka sadar. Hal ini karena pada masa sahabat dan sesudahnya, mereka sangat tekun melakukan perbuatan-perbuatan sunnah dan perbuatan-perbuatan yang dipandang utama untuk menyempurnakan perbuatan-perbuatan wajib. Mereka tidak membedakan antara yang sunnah dan yang fiqih dalam memperbanyak pahala. Para imam ahli fiqih perlu menjelaskan perbedaan antara sunnah dan wajib hanya untuk menjelaskan konsekuensi hukum antara yang sunnah dan yang wajib jika hal itu ditinggalkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan perbedaan sunnah dan wajib adalah untuk memudahkan dan melapangkan, karena kaum muslim masih baru dengan Islamnya sehingga dikhawatirkan membuat mereka lari dari Islam. Ketika telah diketahui kemantapannya di dalam Islam dan kerelaan hatinya berpegang kepada agama ini, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menggalakkan perbuatan-perbuatan sunnah. Demikian juga dengan urusan yang lain. Atau dimaksudkan agar orang tidak beranggapan bahwa amalan tambahan dan amalan utama keduanya merupakan hal yang wajib, sehingga jika meninggalkan konsekuensinya sama. Sebagaimana yang diriwayatkan pada Hadits lain bahwa ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang shalat, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberitahukan bahwa shalat itu lima waktu. Lalu orang itu bertanya : “Apakah ada kewajiban bagiku selain itu?” Beliau menjawab : “Tidak, kecuali engkau melakukan (shalat yang lain) dengan kemauan sendiri”.

Orang itu kemudian bertanya tentanng puasa, haji dan beberapa hukum lain, lalu beliau jawab semuanya. Kemudian, di akhir pembicaraan orang itu berkata : “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau mengurangi sedikitpun dari semua itu”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda :

“Dia akan beruntung jika benar”.

“Jika ia berpegang dengan apa yang telah diperintahkan kepadanya, niscaya ia masuk surga”.

Artinya, bila ia memelihara hal-hal yang diwajibkan, melaksanakan dan mengerjakan tepat pada waktunya, tanpa mengubahnya, maka dia mendapatkan keselamatan dan keberuntungan yang besar. Alangkah baiknya bila kita dapat berbuat seperti itu. Barang siapa dapat mengerjakan yang wajib lalu diiringi dengan yang sunnah, niscaya dia akan mendapatkan keberuntungan yang lebih besar.

 

Perbuatan sunnah yang disyari’atkan untuk menyempurnakan yang wajib. Sahabat yang bertanya tersebut dan sahabat lain sebelumnya, dibiarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam keadaan seperti itu untuk memberikan kemudahan kepada kedua orang itu sampai hatinya mantap dan terbuka memahaminya dengan baik serta memiliki semangat kuat untuk melaksanakan hal-hal yang sunnah, sehingga dirinya menjadi ringan melaksanakannya.

Share:

Sunday, October 4, 2020

Iman Dan Istiqamah


 

Dalam hadis Arbain ke 21 membicarakan masalah Iman dan Istiqomah, berikut ini makna hadis tersebut:

Abu Amr (ada yang disebut Abu Amrah) Sufyan binn Abdillah ra. kepada Rasulullah saw .: “Wahai Rasulallah, katakan kepadaku perkataan tentang Islam yang tidak akan kutanyakan kepada selain engkau.” Beliau bersabda: “Katakanlah: 'Aamantu billaaHi [aku beriman kepada Allah].' Kemudian istiqamahlah. ” (HR Muslim)

 

Hadits ini termasuk Jawami'ul Kalim yang hanya dimiliki oleh Nabi saw. meskipun hanya dua kalimat yaitu iman dan istiqamah, namun dapat menerangkan kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang seluruh dasar Islam. Diketahui bahwa Islam pada kenyataan adalah tauhid dan ketaatan. Tauhid terwujud dengan keimanan kepada Allah, sedangkan ketaatan terwujud dengan istiqamah, yaitu merealisasikan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan, yang termasuk pekerjaan hati dan anggota badan. Allah berfirman: “Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (Fushilat: 6).

1. Pengertian Istiqamah.

Rasulullah melihat. bersabda: “Katakanlah, saya beriman kepada Allah swt, lalu istiqamahlah” dan riwayat lain: “Katanlah, Tuhanku adalah Allah lalu istiqamahlah.” Adalah diambil dari firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Rabb kami adalah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan ucapan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa bersedih; dan bergembiralah kamu dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. ” (Fushilat: 30) juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Rabb kami adalah Allah,' kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada aturan terhadap mereka dan mereka tiada [pula] berduka cita.” (al-Ahqaf: 13)

Dalam menafsirkan kalimat: “tsummas taqaamuu”, Abu Bakar ra. kata: Tiada menyekutukan Allah sedikitpun. Juga berkata: “Kemudian mereka tetap teguh bahwa Allah adalah Rabb mereka.”

Diriwayatkan pula bahwa Umar bin Khaththab ra. membaca ayat ini di atas mimbar lalu berkata: “Istiqamahlah untuk menaatinya dan janganlah berbolak-balik seperti musang.”

Semua pendapat ini berakhir ke satu muara, yaitu istiqamah dalam mentauhidkan Allah swt. secara sempurna. Al-Qusyairy berkata: “Istiqamah tingkat sempurnanya suatu perkara. Dengan adanya istiqamah, akan tercipta. Dan barangsiapa yang tidak memiliki sikap istiqamah, maka semua usaha yang akan lenyap. ”

Al-Wasithy berkata: “Istiqamah adalah etika yang menjadikan sempurnanya berbagai informasi.”

Ibnu Rajab berkata: “Istiqamah adalah menempuh jalan yang lurus, agama yang benar, tanpa berpaling ke kanan atau ke kiri. Mencakup semua ketaatan, yang dhahir dan yang batin. Juga mencakup semua larangan. Sehingga pesan ini semua berwujud. ”

2. Pasti ada kekuarangan.

Istiqamah adalah tingkatan tertinggi dalam kesempurnaan pengetahuan dan perbuatan, kebersihan hati yang lapor dalam pernyataan dan perbuatan, dan kebersihan aqidah dari segala bid'ah dan kesesatan. Karenanya manusia tidak akan bisa mencapai sifat istiqamah secara sempurna. Pasti ada kekurangan. Ini diisyaratkan dalam firman Allah: “Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (Fushishilat: 6)

Perintah untuk memohon ampun dalam ayat ini, karena adanya kekurangan. Nabi melihat. bersabda: “Istiqamahlah kalian semua, dan kalian tidak akan mampu.” (HR Imam Ahmad dan Muslim)

Beliau juga bersabda: “Berusahalah untuk senantiasa benar dan mendekatinya.” (HR Bukhari dan Muslim)

3. Istiqamah Hati

Pada nyata, istiqamah adalah istiqamah hati terhadap tauhid. Maka ramah-hati telah istiqamah pada ma'rifatullah, rasa takut kepada-Nya, mengagungkan dan mencintai-Nya, berdoa kepada-Nya, dan tawakkal sesuai dengan-Nya, niscaya seluruh anggota badan akan taat kepada Allah swt. Karena hati adalah raja dan anggota badan adalah prajuritnya. Jika rajanya benar, maka prajuritnya akan benar.

Rasulullah melihat. bersabda: “Ketahuilah bahwa di dalam badan terdapat segumpal darah. Jika ia baik maka semua anggota badan akan baik. Jik ia rusak, maka semua anggota badan akan rusak. Segumpal darah itu adalah hati. ”

4. Istiqamah lisan.

Setelah hati, yang perlu diperhatikan dalam istiqamah adalah lisan [ucapan]. Karena ucapan merupakan penerjemah bagi hati. Hal ini ditegaskan oleh hadits Nabi saw. bahwasannya seorang shahabat bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulallah, apa yang perlu saya takuti?” Mendengar pertanyaan ini Rasulullah saw. lalu memegang mulutnya. (HR Tirmidzi, seraya kata: “Hadits ini hasan shahih.”)

Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Tidaklah benar iman seseorang hingga dia menjadi benar. Dan benar-benar hati seseorang hingga benar lisannya. (HR Imam Ahmad dan Anas ra.)

“Jika anak Adam memasuki hari, pagi-pagi, maka semua anggota badan lisan dan lisan: 'Bertakwalah kamu kepada Allah karena kami sangat tergantung kepadamu. Jika kamu istiqamah, kami pun istiqamah. Jika kamu berpaling kami pun berpaling. ” (HR Tirmidzi dan Abu Sa'id Al Khudzri)

5. Manfaat istiqamah

Istiqamah adalah keteguhan dan kemenangan, kejantanan dan keberuntungan di medan pertempuran antara ketaatan dan hawa nafsu. Karena itu malaikat layak turun kepada orang-orang yang istiqamah, mengusir segala ketakutan dan keresahan mereka, memberi kabar gembira dengan surga dan menyatakan bahwa mereka [malaikat] senantiasa mendampingi mereka baik di dunia maupun di akhirat.

Allah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: 'Rabb kami adalah Allah.' Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka [dengan mengatakan], 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan [memperoleh] surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. ” (Fushshilat: 30)

6. Urgensi Istiqamah

Satu hal yang mengindikasikan bahwa istiqamah sangat urgen bahwa Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah untuk tetap istiqamah: “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, yang diperintahkan kepadamu.” (Huud: 112)

Ibnu 'Abbas berkata: “Tidak ada satu ayatpun di dalam al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah yang lebih berat dari ayat ini”.

Ketika itu para shahabat bertanya kepada Rasulullah saw.: “Mengapa engkau cepat beruban ya Rasulallah?” Beliau menjawab: “Itu karena ayat-ayat pada surat Huud.”

 

Hasan ra. berkata: “Ketika turun ayat ini, Rasulullah saw. sangat serius dan tidak pernah terlihat tertawa.”

Al-Qusyairi menyebutkan bahwa salah seorang shahabat bermimpi bertemu Rasulullah saw. ia berkata kepada beliau: “Ya Rasulallah, engkau bersabda, bahwa ubanmu itu disebabkan oleh surat Huud. Bagian manakah?” Beliau menjawab: “Firman Allah: ‘Maka istiqamahlah, sebagaimana diperintahkan kepadamu.’”

7. Hadits ini memerintahkan untuk istiqamah dalam masalah tauhid dan ikhlas beribadah hanya kepada Allah swt.

8. Hadits ini merupakan bukti keinginan yang kuat dari para shahabat untuk mempelajari agamanya dan menjaga keimanannya.


Share:

Sunday, September 13, 2020

Perbaikilah Kesalahan Dengan Melakukan Kebaikan

Rasulullah mengalaminya jika kita melakukan kesalahan atau keburukan maka kita segera menggantinya dengan melakukan kesalahan dalam kitab Arbain,  Hadits ke-18

عن أبي ذر جندب بن جنادة وأبي عبد الرحمن معاذ بن جبل رضي الله عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: اتق الله حيثما كنت, وأتبع السيئة الحسنة تمحها, وخالق الناس بخلق حسن "[رواه الترمذي وقال حديث حسن وفي بعض النسخ حسن صحيح ]

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu 'Abdurrahman, Mu'adz bin Jabal radhiyallahu' anhuma, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau dan susullah yang melakukan dosa dengan, pasti akan melaksanakankannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik ”.
(HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih)  [Tirmidzi no. 1987]

 

Riwayat hidup Abu Dzar itu banyak. Ia masuk Islam ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam masih di Makkah dan beliau memerintahkannya kembali kepada kaumnya. Namun ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam menyaksikan tekadnya untuk tinggal di Makkah bersama beliau, maka Rasulullah Shalallahu' alaihi wasallam tidak mampu lagi mencegahnya. Sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam kepada Abu Dzar “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan, pasti akan memenuhikannya”. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Sesungguhnya segala amal kebajikan kesalahan perbuatan dosa”. (QS. Huud: 114)

 


 
Sabda beliau “bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik” maksudnya bergaullah dengan manusia dengan cara-cara yang kamu merasa senang bila diperlakukan oleh mereka dengan cara seperti itu. Ketahuilah bahwa yang paling berat timbangannya di akhirat kelak adalah akhlaq yang baik. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kamu dan yang paling dekat kepadaku posisinya pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaqnya diantara kamu”.
 
Akhlaq yang baik adalah sifat para nabi, para rasul dan orang-orang mukmin pilihan. Perbuatan buruk hendaklah tidak di balas dengan keburukan, tetapi dimaafkan dan diampuni serta dibalas dengan kebaikan.

Share:

Saturday, August 29, 2020

Jangan Mudah Marah


Dalam Hadis 
Hadits ke-16 Kitab Arbain 

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم: أوصني, قال: لا تغضب فردد مرارا, قال: لا تغضب [رواه البخاري]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu' alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Janganlah engkau mudah marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau mudah marah”. [Bukhari no. 6116]

 

Pengarang kitab Al Ifshah tersebut sering berkata: “Boleh jadi Nabi lihatlah laki-laki marah, nasihat nasihat khusus ditujukan. Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam ... orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika marah ”. Sabda beliau: “Bukanlah dikatakan orang yang kuat karena dapat membanting lawannya, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya di waktu marah”. Allah juga dapat mengatur orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah dan suka memberi maaf kepada orang lain. Diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Barang siapa yang menahan marahnya padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segala makhluk, sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya”
 

 
Tersebut pada Hadits lain: “Marah itu dari setan”. Oleh karena itu, orang yang menyimpang dari keadaan normal, yang marah, yang bathil, yang tercela, menginginkan kedengkian, perseteruan dan perbuatan-perbuatan tercela. Semua itu adalah akibat dari rasa marah. Semoga Allah melindungi kita dari rasa marah. Tersebut pada Hadits Sulaiman bin Shard: “Sesungguhnya ucapan 'a'udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim' dapat menghilangkan rasa marah”. Sebenarnya setanlah yang mendorong marah. Setiap orang yang menginginkan hal-hal yang terpuji, setan selalu membelokkannya dan menjauhkannya dari keridhaan Allah, maka perintah “a'udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim” merupakan senjata yang paling kuat untuk menolak tipu daya setan ini.
 

 

Share:

Saturday, August 22, 2020

Berkata Baik Atau Diam


 Hadis ke-15 Kitab Arbain Imam Nawawi tentang berkata yang baik atau diam:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت , ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره, ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه. [ رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam telah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka selanjutnyalah baik atau diam, barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari ia akhirat, makalah ia memuliakan tetangga dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka tunggulah ia memuliakan ". [Bukhari no. 6018, Muslim no. 47]

 

Kalimat “barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”, maksudnya adalah barang siapa beriman dengan keimanan yang sempurna, yang (keimanannya itu) menyelamatkannya dari azab Allah dan membawanya mendapatkan ridha Allah, “maka hendaklah ia berkata baik atau diam” karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya tentu dia takut kepada ancaman-Nya, mengharapkan pahala-Nya, bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya itu ialah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badannya karena kelak dia akan dimintai tanggung jawab atas perbuatan semua anggota badannya, sebagaimana tersebut pada firman Allah :


“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya kelak pasti akan dimintai tanggung jawabnya”(QS. Al Isra’ : 36).

dan firman-Nya: “Apapun kata yang terucap pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”(QS. Qaff : 18).
 
Bahaya lisan itu sangat banyak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“Bukankah manusia terjerumus ke dalam neraka karena tidak dapat mengendalikan lidahnya”.
 
Beliau juga bersabda :


“Tiap ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran”.


 
Barang siapa memahami hal ini dan beriman kepada-Nya dengan keimanan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memelihara lidahnya sehingga dia tidak akan berkata kecuali perkataan yang baik atau diam.


 
Sebagian ulama berkata: “Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat hadis, antara lain adalah hadis: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. Sebagian ulama memaknakan hadis ini dengan pengertian; “Apabila seseorang ingin berkata, maka jika yang ia katakan itu baik lagi benar, dia diberi pahala. Oleh karena itu, ia mengatakan hal yang baik itu. Jika tidak, hendaklah dia menahan diri, baik perkataan itu hukumnya haram, makruh, atau mubah”. Dalam hal ini maka perkataan yang mubah diperintahkan untuk ditinggalkan atau dianjurkan untuk dijauhi Karena takut terjerumus kepada yang haram atau makruh dan seringkali hal semacam inilah yang banyak terjadi pada manusia. Allah berfirman :


“Apapun kata yang terucapkan pasti disaksikan oleh Raqib dan ‘Atid”(QS.Qaaf : 18).
 
Para ulama berbeda pendapat, apakah semua yang diucapkan manusia itu dicatat oleh malaikat, sekalipun hal itu mubah, ataukah tidak dicatat kecuali perkataan yang akan memperoleh pahala atau siksa. Ibnu ‘Abbas dan lain-lain mengikuti pendapat yang kedua. Menurut pendapat ini maka ayat di atas berlaku khusus, yaitu pada setiap perkataan yang diucapkan seseorang yang berakibat orang tersebut mendapat pembalasan.


 
Kalimat “hendaklah ia memuliakan tetangganya…….., maka hendaklah ia memuliakan tamunya” , menyatakan adanya hak tetangga dan tamu, keharusan berlaku baik kepada mereka dan menjauhi perilaku yang tidak baik terhadap mereka. Allah telah menetapkan di dalam Al-Qur’an keharusan berbuat baik kepada tetangga dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:


“Jibril selalu menasehati diriku tentang urusan tetangga, sampai-sampai aku beranggapan bahwa tetangga itu dapat mewarisi harta tetangganya”.


 
Bertamu itu merupakan ajaran Islam, kebiasaan para nabi dan orang-orang salih. Sebagian ulama mewajibkan menghormati tamu tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat hanya merupakan bagian dari akhlaq yang terpuji.


 
Pengarang kitab Al Ifshah mengatakan : “Hadis ini mengandung hukum, hendaklah kita berkeyakinan bahwa menghormati tamu itu suatu ibadah yang tidak boleh dikurangi nilai ibadahnya, apakah tamunya itu orang kaya atau yang lain. Juga anjuran untuk menjamu tamunya dengan apa saja yang ada pada dirinya walaupun sedikit. Menghormati tamu itu dilakukan dengan cara segera menyambutnya dengan wajah senang, perkataan yang baik, dan menghidangkan makanan. Hendaklah ia segera memberi pelayanan yang mudah dilakukannya tanpa memaksakan diri”. Pengarang juga menyebutkan perkataan dalam menyambut tamu.
 
Selanjutnya ia berkata: Adapun sabda Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam “maka haruslah ia berkata baik atau diam”, menunjukkan bahwa perkatan yang baik itu lebih utama dari yang diberikan, dan diam itu lebih utama yang buruk. Demikian itu karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam sabdanya menggunakan kata-kata “digunakanlah untuk berkata benar” didahulukan dari perkataan “diam”. Berkata baik dalam Hadis ini menyampaikan menyampaikan ajaran Allah dan rasul-Nya dan memberikan menerapkan kepada kaum muslim, amar ma'ruf dan nahi mungkar berdasarkan ilmu, mendamaikan orang yang berselisih, menyatakan yang baik kepada orang lain. Dan yang terbaik dari semuanya itu adalah menyampaikan perkataan yang benar di hadapan orang yang ditakuti kekejamannya atau diharapkan mempersembahkannya.

Share:

Friday, August 7, 2020

Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri

Hadis ke-13

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ [رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai milik saudaranya (sesama muslim) seperti ia mencintai miliknya sendiri”.

[Bukhari no. 13, Muslim no. 45]

Penjelasan

Demikianlah di dalam Sahih Bukhari, digunakan kalimat “milik saudaranya” tanpa kata yang menunjukkan keraguan. Di dalam Shahih Muslim disebutkan “milik saudaranya atau tetangganya” dengan kata yang menunjukkan keraguan.
 
Para ulama berkata bahwa “tidak beriman” yang dimaksudkan ialah imannya tidak sempurna karena bila tidak dimaksudkan demikian, maka berarti seseorang tidak memiliki iman sama sekali bila tidak mempunyai sifat seperti itu. Maksud kalimat “mencintai milik saudaranya” adalah mencintai hal-hal kebajikan atau hal yang mubah. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat Nasa’i yang berbunyi :
“Sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya seperti mencintainya untuk dirinya sendiri”.
 
Abu ‘Amr bin Shalah berkata : “Perbuatan semacam ini terkadang dianggap sulit sehingga tidak mungkin dilakukan seseorang. Padahal tidak demikian, karena yang dimaksudkan ialah bahwa seseorang imannya tidak sempurna sampai ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim seperti mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan melakukan sesuatu hal yang baik bagi diriya, misalnya tidak berdesak-desakkan di tempat ramai atau tidak mau mengurangi kenikmatan yang menjadi milik orang lain. Hal-hal semacam itu sebenarnya gampang dilakukan oleh orang yang berhati baik, tetapi sulit dilakukan orang yang berhati jahat”. Semoga Allah memaafkan kami dan saudara kami semua.
 
Abu Zinad berkata : “Secara tersurat hadis ini menyatakan hak persaman, tetapi sebenarnya manusia itu punya sifat mengutamakan dirinya, karena sifat manusia suka melebihkan dirinya. Jika seseorang memperlakukan orang lain seperti memperlakukan dirinya sendiri, maka ia merasa dirinya berada di bawah orang yang diperlakukannya demikian. Bukankah sesungguhnya manusia itu senang haknya dipenuhi dan tidak dizhalimi? Sesungguhnya iman yang dikatakan paling sempurna ketika seseorang berlaku zhalim kepada orang lain atau ada hak orang lain pada dirinya, ia segera menginsafi perbuatannya sekalipun hal itu berat dilakukan.
 
Diriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadz, berkata kepada Sufyan bin ‘Uyainah : “Jika anda menginginkan orang lain menjadi baik seperti anda, mengapa anda tidak menasihati orang itu karena Allah. Bagaimana lagi kalau anda menginginkan orang itu di bawah anda?” (tentunya anda tidak akan menasihatinya).
 
Sebagian ulama berpendapat : “Hadis ini mengandung makna bahwa seorang mukmin dengan mukmin lainnya laksana satu tubuh. Oleh karena itu, ia harus mencintai saudaranya sendiri sebagai tanda bahwa dua orang itu menyatu”.

Seperti tersebut pada hadis lain :
“Orang-orang mukmin laksana satu tubuh, bila satu dari anggotanya sakit, maka seluruh tubuh turut mengeluh kesakitan dengan merasa demam dan tidak bisa tidur malam hari”.

Share:

Saturday, July 18, 2020

Fenomena Maraknya Dusta


Kehidupan dunia saat ini tidak henti-hentinya dihiasi oleh dusta yang merebak dimana-mana. Fenomena dusta di akhir zaman sudah disabdakan oleh Rasulullah SAW berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ. (رواه ابن ماجه)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dia berkata; Rasulullah ﷺ bersabda: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?”. Beliau ﷺ menjawab: “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah).

Pelajaran yang terdapat pada hadis di atas :

1. Hadis ini menunjukan bahwa saat nilai sudah tumpang tindih dan tak begitu diindahkan: orang bohong dianggap jujur; orang jujur dianggap bohong; pengkhianat dianggap amanah; orang amanah dianggap pengkhianat. Di situlah muncul zaman Ruwaibidhah, yang dijelaskan nabi sebagai orang bodoh (pandir, dungu) tapi mengurusi orang umum.

2. Pentingnya kejujuran dan mengandung peringatan dari bahaya kedustaan. Rasulullah ﷺ bersabda: “Wajib atas kalian untuk bersikap jujur, karena kejujuran akan menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan menuntun ke surga. Apabila seseorang terus menerus bersikap jujur dan berjuang keras untuk senantiasa jujur maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai orang yang shiddiq. Dan jauhilah kedustaan, karena kedustaan itu akan menyeret kepada kefajiran, dan kefajiran akan menjerumuskan ke dalam neraka. Apabila seseorang terus menerus berdusta dan mempertahankan kedustaannya maka di sisi Allah dia akan dicatat sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).

3. Pentingnya menjaga amanah dan memperingatkan dari bahaya mengkhianati amanah. Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah datangnya hari kiamat.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?”. Maka beliau ﷺ menjawab, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kiamatnya.”(HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).

4. Dari beberapa ciri tersebut, mengandung subtansi yang sama: orang rendahan, bodoh dan hina, tidak mengerti ilmu mengurusi urusan publik (seperti: menjadi pejabat, penguasa dan lain sebagainya) tapi diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk membicarakan atau mengurusi masalah orang umum. Ini gambaran jelas bahwa sesuatu tidak diserahkan kepada ahlinya. Sehingga, akan berdampak negatif secara sosial.

5. Jalan keluar ketika menghadapi situasi kacau semacam itu adalah dengan kembali kepada ilmu dan ulama'. Yang dimaksud ilmu adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Dan yang dimaksud ulama' adalah ahli ilmu yang mengikuti perjalanan Nabi ﷺ dan para sahabat dalam hal ilmu, amal, dakwah, maupun jihad.

Share:

Thursday, July 16, 2020

Tanda-tanda Akhir Zaman


Kita sudah berada di akhir zaman. Apa yang terjadi pada sekarang ini, sudah di isyaratkan oleh Nabi sejak beberapa abad yang lalu. Simaklah dan renungkan hadis ini: 

قال رسول الله صلى الله عليه وأله وسلم: 
 سيأتي على الناس زمان بطونهم آلهتهم ونساؤهم قبلتهم ، ودنانيرهم دينهم ، وشرفهم متاعهم ، لا يبقى من الايمان إلا اسمه ، ومن الاسلام إلا رسمه ، ولا من القرآن إلا درسه ، مساجدهم معمورة ، وقلوبهم خراب من الهدى ، علماؤهم أشر خلق الله على وجه الأرض . حينئذ ابتلاهم الله بأربع خصال : جور من السلطان ، وقحط من الزمان ، وظلم من الولاة والحكام ، فتعجب الصحابة وقالوا : يا رسول الله أيعبدون الأصنام ؟ قال : نعم ، كل درهم عندهم صنم ) .متفق عليه

Rasulullah SAW bersabda, akan datang suatu zaman atas manusia:

1.Perut-perut mereka menjadi Tuhan-tuhan mereka.

2.Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka.

3.Dinar-dinar(uang) mereka menjadi agama mereka.

4.Kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka.

Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja.

Tidak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja.

Tidak tersisa Al-Quran  kecuali sebatas kajiannya saja.

Masjid-masjid mereka makmur, akan tetapi hati mereka kosong dari Tauhid petunjuk (hidayah).

Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi.

Kalau terjadi zaman seperti itu, Allah akan menyiksa mereka dan menimpakan kepada mereka empat perkara (azab) :
1. Kekejaman para penguasa,
2. Kekeringan pada masa,
3. Kezaliman para pejabat,
4. Ketidakadilan para hakim."

Maka heranlah para sahabat mendengar penjelasan Rasulullah. Mereka bertanya, "Wahai Rasul Allah, apakah mereka ini menyembah berhala?" Nabi SAW menjawab,"Ya ! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhan/disembah)." (Mutafaq'alaih)

Sungguh maha benar Allah, dan benarlah sabda Rasulullah, kita semua menyaksikan kebenarannya.

Apakah zaman yang dimaksud Rasulullah tersebut sudah ada dihadapan kita saat ini?

*ﻭَاللّٰهُ أَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻮَﺍﺏِ*
Share:

Wednesday, July 15, 2020

Ayo Kerja Jangan Malas


Ibnu Mas’ud berkata :

أرى الشاب فيعجبني فأسأل عن عمله فيقولون لا يعمل فيسقط من عيني

“Aku melihat seorang pemuda, ia membuatku kagum. Lalu aku bertanya kepada orang-orang mengenai pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa ia tidak bekerja. Seketika itu pemuda tersebut jatuh martabatnya di mataku.”

Rasulullah bersabda,
إن أطيب كسب الرجل من يده

“Pendapatan yang terbaik dari seseorang adalah hasil jerih payah tangannya.”

Dan Rasulullah pernah melihat seorang lelaki yang kulit tangannya kasar, beliau bersabda,

هذه يد يحبها الله ورسوله
“Tangan ini dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Beliau juga bersabda,

إذا قامت القيامة وفي يد أحدكم فسيلة فليغرسها

“Jika kiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki cangkokan tanaman, tanamlah!”

Beliau juga bersabda,
كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يعول

“Seseorang itu sudah cukup dikatakan sebagai pendosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi tanggungannya.”

Jika seseorang duduk di masjid menyibukkan diri dalam urusan agama, menuntut ilmu agama atau beribadah namun menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya, ia adalah seorang pendosa.
Ia tidak paham bahwa bekerja untuk menjaga iffah [kesucian] dirinya, istrinya dan anak-anaknya adalah ibadah.

Terdapat hadits shahih dari Rasulullah ,

الساعي على الأرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل الله

“Petugas pengantar shadaqah untuk janda dan orang miskin bagaikan mujahid di jalan Allah.”

Al Baihaqi dalam kitabnya, Syu’abul Iman, membawakan sebuah riwayat dari Umar :

يا معشر القراء (أي العباد) ارفعوا رؤوسكم، ما أوضح الطريق، فاستبقوا الخيرات، ولا تكونوا كلاً على المسلمين

“Wahai para pembaca Qur’an (yaitu ahli ibadah), angkatlah kepada kalian, sehingga teranglah jalan. Lalu berlombalah dalam kebaikan. Dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin.”

Dan janganlah menjadi beban bagi orang lain. Muhammad bin Tsaur menceritakan, suatu ketika Sufyan Ats-Tsauri melewati kami yang sedang berbincang di masjidil haram. Ia bertanya: ‘Kalian sedang membicarakan apa?’. Kami berkata: ‘Kami sedang berbincang tentang mengapa kita perlu bekerja?” Beliau berkata:

اطلبوا من فضل الله ولا تكونوا عيالاً على المسلمين

“Carilah rezeki dari Allah dan janganlah menjadi beban bagi kaum muslimin.”

Pada kesempatan lain, Sufyan Ats Tsauri sedang sibuk mengurus hartanya. Lalu datanglah seorang penuntut ilmu menanyakan sebuah permasalahan kepadanya, padahal beliau sedang sibuk berjual-beli. Orang tadi pun lalu memaparkan pertanyaannya. Sufyan Ats Tsauri lalu berkata: ‘Wahai anda, tolong diam, karena konsentrasiku sedang tertuju pada dirhamku, dan ia bisa saja hilang (rugi)’. Beliau pun biasa mengatakan,

لو هذه الضيعة لتمندل لي الملوك

“Jika dirham-dirham ini hilang, sungguh para raja akan memanjakan diriku.”

Ayyub As Sikhtiani berkata:
الزم سوقك فإنك لا تزال كريماً مالم تحتج إلى أحد

“Konsistenlah pada usaha dagangmu, karena engkau akan tetap mulia selama tidak bergantung pada orang lain.”

Agama kita tidak mengajak untuk miskin. Sayidina Ali bin Abi Thalib berkata:

لو كان الفقر رجلاً لقتلته

“Andaikan kefaqiran itu berwujud seorang manusia, sungguh akan aku bunuh ia.”

Rasulullah shallallahu‘alaihi wa sallam juga berdoa,
اللهم إني أعوذ بك من الكفر والفقر

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kekafiran dan kefaqiran.”

Maka wajib bagi setiap muslim untuk bekerja, berusaha, bersungguh-sungguh dan tidak menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya. Orang yang hanya duduk diam, ia bukanlah mutawakkil (orang yang tawakal), melainkan ia adalah mutawaakil (orang yang lemah sehingga mempercayakan urusannya pada orang lain). Ini adalah kemalasan. Manusia diciptakan di dunia agar mereka dapat bekerja, berusaha dan bersungguh-sungguh. Para nabi pun bekerja, Abu Bakar radhiallahu ‘anhu pun berdagang. 

Orang yang berpendirian bahwa duduk diam tanpa bekerja adalah tawakkal, kemungkinan pertama ia memiliki pemahaman agama yang salah, atau  kemungkinan kedua ia adalah orang malas yang gemar mempercayakan urusannya pada orang lain. Kepada orang yang demikian kami nasihatkan, perbaikilah niat Anda dan carilah penghasilan yang halal. Bertakwalah kepada Allah dan tetap berada dalam ketaatan.

Bersemangatlah untuk menghadiri perkumpulan penuntut ilmu dan menghadiri majelis ilmu dengan tanpa menelantarkan orang yang menjadi tanggungan Anda. Orang yang inginnya meminta-meminta dari orang lain, Allah akan membukakan baginya pintu kefakiran. Orang yang bekerja, dialah orang yang kaya. Karena kekayaan hakiki bukanlah harta, melainkan kekayaan jiwa. Orang yang kaya jiwanya tidak gemar meminta-minta kepada orang lain.

Semoga Allah SWT memberi kita taufik dan hidayah agar mampu menjalankan apa yang Allah cintai dan ridhai-Nya.
Share:

Thursday, June 25, 2020

Jauhi Perbuatan yang Meresahkan


Hadis Arba’in An Nawawi ke-27:

عَنْ النَّوَّاسِ بنِ سَمْعَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . [رَوَاهُ مُسْلِم] .
وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : جِئْتَ تَسْألُ عَنِ الْبِرِّ قُلْتُ : نَعَمْ، قَالَ : اِسْتَفْتِ قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ، وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ “
[حديث حسن رويناه في مسندي الإمامين أحمد بن حنبل والدارمي بإسناد حسن]

Terjemah hadis:
Dari Nawwas bin Sam’an radhiallahuanhu, dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda : “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengaggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui  manusia “
(Riwayat Muslim)

Dan dari Wabishah bin Ma’bad radhiallahuanhu dia berkata: Saya mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?, saya menjawab : Ya. Beliau bersabda : Mintalah pendapat dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya.
(Hadis hasan kami riwayatkan dari dua musnad Imam Ahmad bin Hanbal dan Ad Darimi dengan sanad yang hasan).

Pelajaran yang terdapat dalam hadits / الفوائد من الحديث :

1. Tanda perbuatan dosa adalah timbulnya keragu-raguan dalam jiwa dan tidak suka kalau hal itu diketahui orang lain.

2. Siapa yang ingin melakukan suatu perbuatan maka hendaklah dia menanyakan hal tersebut pada dirinya .

3. Anjuran untuk berakhlak mulia karena akhlak yang mulia termasuk unsur kebaikan yang sangat besar.

4. Hati seorang mu’min akan tenang dengan perbuatan yang halal dan gusar dengan perbuatan haram.

5. Melihat terlebih dahulu ketetapan hukum sebelum mengambil tindakan. Ambillah yang paling dekat dengan ketakwaan dan kewara’an dalam agama.

6. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam  ketika menyampaikan sesuatu kepada para shahabatnya selalu mempertimbangkan kondisi mereka.

7. Perhatian Islam terhadap pendidikan sisi agama yang bersifat internal dalam hati orang beriman dan meminta keputusannya sebelum mengambil tindakan.
Share:

Monday, June 22, 2020

Perbuatan Baik itu Sedekah

Hadits ke-26 
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ، كُلُّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ وَ تُمِيْطُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ . [رواه البخاري ومسلم]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : ‘Setiap anggota badan manusia diwajibkan bershadaqah setiap hari selama matahari masih terbit. Kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah, kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah, berkata yang baik itu adalah shadaqah, setiap langkah berjalan untuk shalat adalah shadaqah, dan menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ”. [Bukhari no. 2989, Muslim no. 1009]
Dalam shahih Muslim disebut jumlah anggota badan ada tiga ratus enam puluh. Qadhi ‘Iyadh berkata : “Pada asalnya kata “sulaama” bermakna tulang, telapak tangan, jari-jari dan kaki, kemudian kata tersebut biasa dipakai dengan arti seluruh anggota badan”.

Sebagian ulama berkata : “Yang dimaksud di sini adalah shadaqah anjuran atau peringatan, bukan berarti shadaqah yang wajib. Sabda beliau “kamu mendamaikan antara dua orang (yang berselisih) adalah shadaqah” yaitu mendamaikan keduanya secara adil.

Pada Hadits lain riwayat Muslim disebutkan :
“Setiap anggota badan dari seseorang di antara kamu dapat berbuat shadaqah. Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap tahmid adalah shadaqah, setiap tahlil adalah shadaqah, setiap takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, tetapi semuanya itu bisa dicukupkan dengan (melakukan) dua raka’at shalat Dhuha”.

Maksudnya, semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua raka’at shalat Dhuha, karena shalat merupakan kerja dari semua anggota badan. Jika seseorang shalat, maka seluruh anggota badannya menjalankan fungsinya masing-masing.  
Share:

Konsultasi dengan Gus Abduh

Data Kunjungan